CINTA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
Para filosof
mengidentitaskan cinta dengan keberadaan manusia. Dengan cinta manusia dapat
menghayati dirinya sebagai pengemban aktif dunia aktivitasnya. Eksistensialis
agamis yang beriman kepada Tuhan dan Filosof yang berpengaruh Hiedegger,
menyatukan keberadaan real dengan cinta. Mereka menghadirkan cinta sebagi
puncak kondisi luar biasa realitas alamiah dan sebagai komplemen dari
keberadaan manusiawi. Inilah perbedaan prinsip antara manusia dan benda-benda,
serta binatang.
Teori Cinta Erich Fromm
Dalam tinjauan
Filsafat Erich Fromm, manusia modern kini telah kehilangan rasa cinta.
Terkadang apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati sering sebenarnya tiada
lain daripada ambisi yang terselubung, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan
kecil untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Itu tidak lain
karena sekali lagi cinta manusia modern itu telah hilang. Hubungan antar
manusia kini menjadi semu karena setiap orang menjadi barang komoditas bagi
yang lainnya. Tidak ada cinta maupun benci dalam jalinan hubungan manusia zaman
sekarang. Keakraban menjadi hambar,
ketulusan hati menjadi hal yang direkayasa. Individu digerakkan oleh
kepentingan egoistis dan bukan oleh cinta yang bersemi di hati manusia. Bila
halnya demikian, manusia modern merasa terasing (teralienasi) terhadap alam,
sesamanya bahkan asing terhadap dirinya sendiri.
Cinta dalam
bahasa Latin mempunyai istilah amor
dan caritas. Dalam istilah
Yunani disebut philia, eros dan
agape. Philia mempunyai
konotasi cinta yang terdapat dalam persahabatan (dalam bahasa Cina sinonimnya jen). Amor dan eros adalah jenis
cinta berdasarkan keinginan. Caritas
dan agape merupakan tipe cinta
yang lebih tinggi dan tidak mementingkan diri sendiri. Cinta adalah reaksi yang
dipelajari dan emosional. Cinta merupakan tanggapan terhadap kelompok
rangsangan dan perilaku yang dipelajari. Cinta adalah interaksi dinamis
dihayati dalam setiap kehidupan kita. Maka cinta ada dimana-mana dan kapan
saja.
Erich Fromm
menjelaskan bahwa cinta adalah suatu kegiatan yang aktif. Karena itu cinta
memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya dan mencintai adalah memberikan
kebebasan demi pertumbuhan yang dicintai. Dengan demikian cinta bukanlah suatu
pengaruh pasif. Cinta adalah Standing
in (tetap tegak di dalam) bukan Falling
for (Jatuh untuk). Jika cinta adalah suatu kegiatan, berarti ia bukanlah
benda melainkan lebih pada kerja, aktivitas, orientasi. Cinta bukanlah
komoditas barang yang dapat dibarter dan diperjualbelikan apalagi dipaksakan
oleh orang lain, karena ia tidak bisa terwujud dengan paksaan. Cinta adalah
pilihan bebas yang diberikan secara suka rela atas kemauan sendiri dan
rasional. Jika sesorang ingin membagi cintanya kepada orang lain, ia bebas
memberikannya. Begitu juga sebaliknya, jika ada keinginan untuk tidak memberikan
cintanya kepada orang lain, itu juga memberikan kebebasan baginya. Oleh karena
itu, dalam cinta dituntut kedewasaan dalam berpikir, serta kesadaran dalam
memilih.
Ekspresi
tipikal cinta tidaklah mendominasi atau memiliki. Ekspresi ini, sebaliknya adalah
pemberian secara mutual, yakni menerima dan memberi. Karena itu, menurut
Marcel, cinta kita rasakan terhadap makhluk ini sama dengan keyakinan yang kita
rasakan terhadap Tuhan. Aktivitas yang
paling jelas dalam kegiatan cinta dan mencintai adalah memberi. Menurut Fromm,
selama ini ada kesalahan luar biasa dalam tindakan “memberi”. Memberi sering
disamakan dengan “memberikan” sesuatu atau mengorbankan sesuatu. Bagi
pribadi-pribadi yang perkembangan karakternya berhenti pada tahap orientasi
reseptif, eksploitatif atau menimbun, tindakan “memberi” memang dimaknai dalam
pengertian ini. Orang yang berkarakter pasar hanya akan memberi jika dia
mendapat untung. Orang yang mengidap orientasi non-produktif akan merasa
tindakan memberinya sebagai bentuk pemiskinan. Sementara orang yang berkarakter
produktif, tindakan memberinya dimaknai sebagai bentuk ekspresi tertinggi dari
potensi yang ada dalam diri mereka. Bagi mereka memberi adalah potensi dan
vitalitas manusia yang menghasilkan kegembiraan luar biasa daripada menerima.
Karena itulah mereka percaya dengan sebuah yang mengatakan “tangan di atas
lebih baik daripada tangan yang di bawah”.
Lalu apa saja yang mampu
diberikan kepada orang lain? Manusia memberikan dirinya, memberikan sesuatu
yang paling berharga yang dia miliki, yaitu kehidupannya. Kehidupan yang
dimaksud Fromm bukan soal pengorbanan demi orang lain. Fromm mengkritik
orang-orang modern yang memandang cinta dalam visi keindahan dan kenikmatannya
saja tanpa melihat cinta sebagai bagian esensial dari seni hidup. Bahkan cinta
adalah seni hidup itu sendiri dan merupakan pandangan terhadap manusia yang
lebih utuh.
Fromm
mengemukakan tiga kekeliruan orang-orang modern dalam memahami cinta. Pertama,
persoalan cinta hanya dilihat sebagai persoalan “dicintai” ketimbang
“mencintai”. Oleh karena itu, persoalan terpenting bagi kebanyakan orang adalah
bagaimana agar dicintai, atau bagaimana agar bisa dicintai. Karena masalahnya
adalah bagaimana agar dicintai (to be loved), maka orang-orang berusaha
bagaimana ‘menciptakan’ dirinya semenarik mungkin bagi lawan jenisnya. Tentunya
hal ini disesuaikan dengan selera zaman atau trend yang berkembang daam
kehidupan sosial.
Kedua,
persoalan cinta adalah persoalan objek bukan persoalan kemampuan. Orang
berpikir bahwa mencintai adalah persoalan mudah, yang sulit adalah bagaimana
mencari sasaran (objek) yang tepat. Namun persoalan objek cinta pun selalu
mengalami perubahan dari masa ke masa. Fromm mencontohkan, bagi laki-laki zaman
sekarang, gadis yang menarik tak ubahnya bingkisan yang selalu mereka inginkan.
Sebaliknya bagi perempuan, lelaki yang menarik adalah hadiah yang selalu mereka
dambakan. Arti “menarik” di sini tak lain adalah adanya kesesuaian dengan model
karakter yang dicari-cari di pasar kepribadian.
Ketiga,
sebagai implikasi dari kekeliruan tersebut, bahwa pengakuan cinta merupakan
pengakuan jatuh cinta (falling in love) bukan pengalaman meng-ada dalam
cinta (being in love) atau berdiri dalam cinta (standing in love).
Pengalaman jatuh adalah pengalaman objektivikasi, bagaimana jatuh senantiasa
berimplikasi kepemilikan terhadap orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar