SUKU BADUY
Indonesia
merupakan salah sahatu Negara yang kaya akan keaneka ragaman budayanya yang
tersebar mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Adanya keaneka ragaman budaya di
Indonesia tidak terlepas dari banyaknya suku-suku yang menempati tanah nusantara
ini, keberadaannya tidak bisa dihitung dengan jari bisa ratusan bahkan ribuan,
dan salah satunya adalah suku Baduy.
Suku
Baduy atau Orang Kanekes adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas suku ini
tinggal di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar.
Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di
Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat Ibukota Jakarta dan 65
km sebelah selatan ibu kota Serang.
Keberadaan
mereka bisa dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern, tapi meskipun
demikian mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat
moderen, sehingga berkunjung ke komunitas suku baduy pedalaman dijadikan salah
satu objek wisata sekaligus penelitian sejarawan di daerah provinsi Banten.
ETIMOLOGI
Sebutan "Baduy" merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti yang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden)
seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama hampir sama juga, yaitu suku
Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan
Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten yang enggan untuk menerima
ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi Muhammad Saw. Dan atas
sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka diasingkan ke daerah
pedalaman.
Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagaiurang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993).
WILAYAH
Banten merupakan sebuah provinsi di
sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto “Iman Taqwa”. Moto ini mengartikan
bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang yang memiliki agama atau
kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka. Ibu kota
Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat
wilayah Banten adalah 5° 7' 50" - 7° 1' 11" LS dan 105° 1'
11" - 106° '12" BT.
Untuk saat ini pemerintahan Provinsi
banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut Chosiyah. Luas wilayah Banten
sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 adalah
9.160,70 km2, dengan Populasi 10.644.030 jiwa, dan kepadatan 1.161,9/km².
Demografi Banten sendiri terdiri
dari Suku bangsa Banten dengan presentase sebesar 47% dari jumlah
penduduk, Sunda dengan presentase sebesar 23% dari jumlah penduduk,
dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk, dengan presentase
sebesar Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa dengan presentase
sebesar 1,1% dari jumlah penduduk, Batak dengan presentase sebesar 0,93%
dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan presentase sebesar 0,81%, dari
jumlah penduduk Lain-lain dengan presentase sebesar 54% dari jumlah
penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten, Indonesia, dan Betawi. Dan
kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir 96,6% jumlah presentase
pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen 1,2%, Katolik 1%, Buddha
0,7%, dan Hindu 0,4%.
Wilayah laut Banten merupakan salah
satu jalur laut potensial selain karena batas daerahnya. Batas daerah Banten
sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal dengan potensi perikanan yang
cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda,
yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis
karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru
dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Disebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, yang berpotensi untuk
memperkaya mata pencarian penduduknya, dengan berlayar mencari ikan besar. Dan
yang terakhir di sebelah timur, yang berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Di samping itu Banten merupakan
jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan
pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota
Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan) merupakan wilayah
penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri.
Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan
sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di
Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Iklim Banten sendiri adalah Iklim
Tropis. Daerah Banten terbagi menjadi 8 daerah kabupaten/kota.
Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota Cilegon, Kota Serang,
Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang,
dan Kabupaten Tangerang.
Di Provinsi Banten terdapat suku
asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy merupakan suku asli Sunda Banten yang masih
menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup
lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan
dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar
yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta
damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang kala suku Baduy juga menyebut
dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di
wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran
sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km
sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang.
SEJARAH SUKU BADUY
Menurut kepercayaan warga sejarah
suku baduy dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa
yang di turunkan ke bumi. Batara cikal memiliki peran untuk mengatur
keseimbangan di bumi. Versi ini hampir sama persis dengan cerita di turunkannya
nabi Adam, sebagai makhluk pertama dan memiliki tugas untuk mengelola bumi.
Suku baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan nabi Adam.
a.
Sejarah Suku Baduy Dalam Menurut Ahli Sejarah
Sedangkan pada versi yang lain, para
ahli sejarah memiliki pendapat sendiri terkait sejarah suku baduy. Pendapat
mereka berdasar pada temuan prasasti sejarah, kemudian di telusuri pula melalui
catatan para pelaut dari Portugis dan Tiongkok serta di hubungkan dengan cerita
rakyat tentang Tatar Sunda. Meskipun pada kenytaannya, cerita mengenai Tatar
Sunda ini sangan sedikit sekali referensinya.
Menurut ahli sejarah, masyarakat
baduy (kanekes) memiliki kaitan dengan kerajaan Pajajaran (saat ini wilayah
Bogor). Yang di ketahui, Pajajaran ada sekitar di abad ke-16. Pada saat dimana
kerajaan atau kesultanan Banten belum berdiri, wilayah yang kemudian menjadi
kesultanan Banten, ialah daerah yang sangat penting dan memiliki peranan yang
signifikan. Saat itu, Banten masih menjadi bagian dari wilayah kerajaan Sunda.
Banten berfungsi sebagai pelabuhan yang memang terkenal besar.
Di banten terdapat sungat Ciujung
yang berfungsi sebagai pelabuhan dan bisa di lewati beragam jenis perahu.
Sungai ini menjadi lalu lintas angkutan barang-barang hasil pertanian dari
wilayah pedalaman. Pangeran Pucuk, penguasa saat itu merasa perlu untuk
melestarikan dan menjaga wilayah tersebut, terutama terkait kelestarian
sungainya. Wilayah itu di kenal dengan nama Gunung Kendeng.
Karena alasan itu, pangeran pucuk
memerintahkan pasukan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung
Kendeng-Sungai Ciujung. Mereka tinggal dan bertugas sebagai penjaga wilayah
tersebut. Maka, dengan adanya pasukan kerajaan tersebut, lambat laun kehidupan
mulai berjalan normal. Jadi bisa di simpulkan bahwa sejarah suku Baduy dalam
dan yang hari ini kita kenal adalah berasal dari pasukan yang di utus oleh
Pangeran Pucuk yang bertugas melestarikan sungai Ciujung – gunung Kendeng. Pada
masanya, suku baduy menutup identitas mereka terhadap orang luar. Karena di
khawatirkan akan di ketahui oleh musuh-musuh kerajaan Pajajaran
b.
Sejarah Suku Baduy Dalam Versi Van Tricht
Versi ketiga tekait sejarah suku
baduy dalam ialah dari dokter Van Tricht yang berkunjung ke Baduy di tahun 1982
kemudian mengadakan penelitian terkait kesehatan masyarakat disana. Van Tricht
tidak mengakui kedua pendapat diatas, ia memiliki pendapat sendiri mengenai
sejarah suku baduy dalam dan ia mengatakan bahwa masyarakata Baduy sudah ada
sejak lama disana dan merupakan masyarakat asli sana. Menurut Van Tricht
masyarkat baduy terutama warga masyarakat suku baduy dalam memiliki sifat yang
menolak keras dan tidak bisa mengadopsi kebudayaan luar. Selain itu, menurutnya
masyarakat baduy dalam sangat mempertahankan kebudayaannya. Itu terbukti suku
baduy dalam masih sangat ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang
mereka.
Pendapat Van tricht terkait sejarah
suku baduy dalam ini sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda
(1986:4-5). Menurut dua ahli ini saat itu raja yang berkuasa di wilayah sekitar
Baduy adalah Rakeyan Darmasiska, raja ini memerintahkan masyarakat Baduy yang
memang sudah tinggal disana dari dahulu untuk memelihara Kabuyutan (tempat
pemujaan nenek moyang). Menjadikan kawasan tersebut sebagai “Mandala” atau
kawaan suci. Masyarakatnya sendiri di kenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan
(wiwitan: asli,pokok). Sampai sekarang pun masyarakat baduy masih memegang
teguh kepercayaan tersebut.
BAHASA DAN KEPERCAYAAN
a.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah
Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya
tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal
sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa
mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun
fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha
pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca
atau menulis.
b.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang
disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(Animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh Agama
Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh
atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk
heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu
tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang, Pertanian bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur
lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah
lahan dengan Bajak, tidak membuat Terasering (halaman belum tersedia), hanya
menanam dengan Tugal (halaman belum tersedia), yaitu sepotong Bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek
kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi
lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan
bulan Juli. Hanya Pu'un atau
ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang
kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a).
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
PEMBAGIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Masyarakat suku Baduy sendiri
terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Baduy Luar atau
Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar
7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal di desa
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy
dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan
masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan
luar, seperti bersekolah.
Sementara di bagian selatannya
dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah
800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok
tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih
terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang
tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua
kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy
Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam
dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang
biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih. Sedangkan,
Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak
batik warna biru.
Masyarakat Baduy sangat taat pada
pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali
hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan
peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh
seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat
dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun
Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya
pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan
pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri
mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang
dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
MATA PENCAHARIAN
Mata pencarian masyarakat Baduy yang
paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat
kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian
kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes
adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis
bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke
wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena
getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Adapun sebutan siku Baduy menurut
cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam
yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama
Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui
maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga
dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.
Konon pada sekitar abad ke XI dan
XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten,
Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya
adalah prabu bramaiya maisatandraman dengan gelar prabu siliwangi.
Kemudian pada sekitar abad ke XV
dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar
Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah sunan gunung jati
dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga
kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang
memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih
setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti
Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang
diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang
teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh
lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan
atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya: jauh tidak menentu yang
tuju (Jugjug ), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung
dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak
saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “ Suku baduy masih setia
dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti leluhurnya. Tak heran,
jika orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang menggunakan sabun, menumpang
mobil atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak pernah bersepatu. Jika
bepergian ke Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan berjalan kaki selama tiga
hari tiga malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka masih berderet: Tak
bersekolah, menggunakan kaca, menggunakan paku besi, pantang mengkonsumsi
alkohol dan berternak binatang yberkaki empat, dan masih banyak lagi.
Prinsip kearifan yang dipatuhi
secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai
sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan
pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari
kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip
hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja mandiri dalam
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi
menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri. Kayu
sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan
dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy,
sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”,
kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian mereka dari hasrat
mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa
hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok
tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan
memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa,
lumbung padi, dan sebagainya.
Orang tak bisa menuding begitu saja,
bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata, mereka menguasai teknik pertanian
dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan.
“Mereka memang tak bersekolah. Belajar di ladang dan menimba kearifan hidup di
alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur Boedihartono, antropolog dari
Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku Baduy selama beberapa tahun.
“Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang meneladani moralitas utama,
menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku orang Baduy dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka pun polos, jujur tanpa
basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Karena
itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang Baduy karena mereka pantang
merugikan orang lain”, ujarnya lagi.
Untuk menjaga kemurnian adat dari
pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam mengunjungi kawasan
pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy Dalam melakukan sidak
ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda yang bisa
melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang dianggap
melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda motor,
radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan
bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat
penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam di sana.
Akan tetapi, amatlah sukar menjaga
keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba hiruk pikuk ini.
Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang “meninggalkan” pakaian
tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan warna hitam dan putih,
dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola Italia yang “berteriak”
dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini menabukan jual beli dan
penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter, akhirnya mulai terlibat proses
dagang.
PEMERINTAHAN
Masyarakat Kanekes mengenal dua
sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara
Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah Camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi dalam
masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'untidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang sampai
sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing,
terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke
dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali,
berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur
Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten
Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang
lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang
Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula
kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang
tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi
wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali
kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para
pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing
(non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak
terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi
dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah
kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan
tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar