Pemikiran
kritis
Freire (2005:83) memandang bahwa
“pemikiran kritis adalah pemikiran yang melihat suatu hubungan takterpisahkan
antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikhotomi diantara keduanya pemikiran
yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, ketimbang sebagai suatu
entitas yang statis pemikiran yang tidak memisahkan pemikiran itu sendiri dari
tindakan, tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah dunia tanpa gentar
menghadapi risiko”. Melalui pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap realitas,
manusia akan berusaha mereflesikan segala bentuk pengalaman hidupnya sebagai
sebuah bahan untuk dipikirkan secara kritis yang kemudian melahirkan
tindakan-tindakan yang mengubah dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan
pernah dibahas pada bagian kesadaran, adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut
yaitu (what is the problem), tahap ini bertujuan untuk membentukkepekaan
terhadap realitas social yang terjadi disekitar. Kemudian dilanjutkan dengan
tahap menanyakan pertanyaan mendasar untuk mencari persoalan utama (why is it
happening), tahap ini dimaksudkan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir
kritis dan reflekif. Terakhir, tahap-tahap pencarian solusi atau alternative
pemecahan masalah (what can be done to change the situation). Berpikir kritis
berbeda dengan berpikir naip, yang memandang “waktuhistoris sebagai suatu
beban, suatu statifikasi perolehan-perolehan dan pengalaman-pengalaan masa
lalu”, yang pada suatu saat berkembang menjadi normal dan “well-behaved”. Bagi
pemikir naif, hal yang penting adalah akomodasi terhadap “hari ini” yang normal
tersebut. Bagi pemikir kritis, hal yang penting adalah transformasi
berkesinambungan realitas, demi humanisasi manusia secara berkelanjutan.
(Freire, 2005:83).
Dialog adalah perjumpaan antarmanusia,
dimediasi oleh dunia, dalam rangka menamai dunia. Dialog bukan hanya alat, atau
praktik pendidikan, tetapi juga sikap fundamental dalam berkehidupan atau
dialogisme. Manusia sebagai subjek yang adalah inconclusive beings yang sadar
diri, mengimplikasikan dialog. Inconclusive beings mengasumsikan kekurangan,
kesalahan, kekeliruan, bukan self-suffiency. Karena itu dialog merupakan
keniscayaan dalam masyarakat manusia, dan dalam situasi pendidikan. Dialog
mengimplikasikan petukaran antarsubjek. Dengan dialog, guru belajar ketika
mengajar, siswa mengajar ketika belajar. Tanpa dialog tidak ada subjek. Dialog
mengasumsikan kesetaraan antarmanusia, hubungan subjek-subjek. Dialog menandai
tindakan mengetahui yang bersifat social, meskipun tindakan ini memiliki
dimensi individual.
Pandangan Freire tentang dialog sebagai
perjumpaan antarmanusia dengan mediasi dunia berikut tema-tema zaman yang
melingkupinya dalam rangka membuat sejarah (menamai dunia), beririsan dengan
pandangan Vygotsky tentang pengajaran sebagai interaksi sosial dalam rangka
memfasilitasi terdidik untuk belajar karena perkembangan budaya peserta didik
mencul pertama kali dalam interaksi sosial kemudian secara individual, bukan
sebaliknya. Sebelumnya telah sering disinggung bahwa dialog terjadi karena
inconclusive beings berada dalam keadaan permanence searching, secara menetap
menamai atau mengkreasi atau `merekreasi dunia. Karena itu dunia bukan statis
adanya, perjalanan sejaran terhenti, jika dialog tidak terjadi antarmanusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar