Jumat, 23 Desember 2016

Pemikiran kritis

Pemikiran kritis
Freire (2005:83) memandang bahwa “pemikiran kritis adalah pemikiran yang melihat suatu hubungan takterpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikhotomi diantara keduanya pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, ketimbang sebagai suatu entitas yang statis pemikiran yang tidak memisahkan pemikiran itu sendiri dari tindakan, tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah dunia tanpa gentar menghadapi risiko”. Melalui pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap realitas, manusia akan berusaha mereflesikan segala bentuk pengalaman hidupnya sebagai sebuah bahan untuk dipikirkan secara kritis yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang mengubah dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan pernah dibahas pada bagian kesadaran, adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu (what is the problem), tahap ini bertujuan untuk membentukkepekaan terhadap realitas social yang terjadi disekitar. Kemudian dilanjutkan dengan tahap menanyakan pertanyaan mendasar untuk mencari persoalan utama (why is it happening), tahap ini dimaksudkan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan reflekif. Terakhir, tahap-tahap pencarian solusi atau alternative pemecahan masalah (what can be done to change the situation). Berpikir kritis berbeda dengan berpikir naip, yang memandang “waktuhistoris sebagai suatu beban, suatu statifikasi perolehan-perolehan dan pengalaman-pengalaan masa lalu”, yang pada suatu saat berkembang menjadi normal dan “well-behaved”. Bagi pemikir naif, hal yang penting adalah akomodasi terhadap “hari ini” yang normal tersebut. Bagi pemikir kritis, hal yang penting adalah transformasi berkesinambungan realitas, demi humanisasi manusia secara berkelanjutan. (Freire, 2005:83).
Dialog adalah perjumpaan antarmanusia, dimediasi oleh dunia, dalam rangka menamai dunia. Dialog bukan hanya alat, atau praktik pendidikan, tetapi juga sikap fundamental dalam berkehidupan atau dialogisme. Manusia sebagai subjek yang adalah inconclusive beings yang sadar diri, mengimplikasikan dialog. Inconclusive beings mengasumsikan kekurangan, kesalahan, kekeliruan, bukan self-suffiency. Karena itu dialog merupakan keniscayaan dalam masyarakat manusia, dan dalam situasi pendidikan. Dialog mengimplikasikan petukaran antarsubjek. Dengan dialog, guru belajar ketika mengajar, siswa mengajar ketika belajar. Tanpa dialog tidak ada subjek. Dialog mengasumsikan kesetaraan antarmanusia, hubungan subjek-subjek. Dialog menandai tindakan mengetahui yang bersifat social, meskipun tindakan ini memiliki dimensi individual.

Pandangan Freire tentang dialog sebagai perjumpaan antarmanusia dengan mediasi dunia berikut tema-tema zaman yang melingkupinya dalam rangka membuat sejarah (menamai dunia), beririsan dengan pandangan Vygotsky tentang pengajaran sebagai interaksi sosial dalam rangka memfasilitasi terdidik untuk belajar karena perkembangan budaya peserta didik mencul pertama kali dalam interaksi sosial kemudian secara individual, bukan sebaliknya. Sebelumnya telah sering disinggung bahwa dialog terjadi karena inconclusive beings berada dalam keadaan permanence searching, secara menetap menamai atau mengkreasi atau `merekreasi dunia. Karena itu dunia bukan statis adanya, perjalanan sejaran terhenti, jika dialog tidak terjadi antarmanusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar