Minggu, 25 Desember 2016

KEBUDAYAAN BANTEN

KEBUDAYAAN BANTEN
Banten merupakan salah satu provinsi muda di Indonesia. Awalnya Banten merupakan bagian dari wilayah provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2000, Banten kemudian resmi berpisah dan menjadi provinsi mandiri dengan ibu kota Serang. Banyak hal yang menarik dari kebudayaan di Banten, di antaranya sebagai berikut:
1.      Kebudayaan Pencak Silat
Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual.
            Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah.
Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.
2.      Kebudayaan Debus
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain.
Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan. Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.
3.      Kebudayaan Rudat Banten
Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari. Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat. Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda. Dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
4.      Kebudayaan Ubrug Banten
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.
5.      Kebudayaan Tari Cokek Banten
Cokek adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan tanah
Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya.
Salah satu alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.
Lantunan nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek. Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek.
Jika pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.
Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek 
6.      Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
7.      Kebudayaan Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” (kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
8.      Kebudayaan Rumah Adat Baduy
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orangKanekes atau disebut juga orang Baduy.
9.   Kebudayaan Golok Banten
Golok adalah pisau besar dan berat yang digunakan sebagai alat berkebun sekaligus senjata yang jamak ditemui di Asia Tenggara. Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok digunakan sebagai senjata dalam silat.
Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi tergantung dari pandai besi yang membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir serupa dengan machete tetapi golok cenderung lebih pendek dan lebih berat, dan sering digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok biasanya dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar lainnya di dunia. Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan pengasahan yang lebih sering.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar