KEBUDAYAAN
BANTEN
Banten merupakan salah satu provinsi muda di Indonesia. Awalnya Banten
merupakan bagian dari wilayah provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2000, Banten
kemudian resmi berpisah dan menjadi provinsi mandiri dengan ibu kota Serang.
Banyak hal yang menarik dari kebudayaan di Banten, di antaranya sebagai
berikut:
1.
Kebudayaan Pencak Silat
Pencak silat merupakan seni beladiri yang
berakar dari budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat
sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara
historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum
Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di Nusantara.
Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di
pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu
keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari
sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela
negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi
bagian dari latihan spiritual.
Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak
terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan
gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak
silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang
didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin.
Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat
sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal
ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai
berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan
masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah.
Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas
dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu
silat.
2.
Kebudayaan Debus
Debus merupakan
kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16,
pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus,
suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal
senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh,
menggoreng telur di kepala dan lain-lain.
Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata
tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit
bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat
ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi
atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan
debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris
tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan
jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka.
Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat
disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai
pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar
tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan. Dibanten sendiri kesenian
debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak
perguruan yang mengajarkannya.
3.
Kebudayaan Rudat Banten
Rudat adalah kesenian
tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat,
dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat
terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan
orang penerbang (pemain musik) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari. Menurut
beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam
kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara
dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun
Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana
Yusuf (1570-1580 M).
Tidak banyak yang mengetahui
siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui
seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag
berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki
oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang
pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang
mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat
sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya
merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi
musik dan shalawat. Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama
tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan
tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat
sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan
Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV
Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651
M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena
dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan
menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda. Dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti
Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
4.
Kebudayaan Ubrug Banten
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu
saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug
ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang
berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil
dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan,
maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi
atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu
kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung
angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa
oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco
yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung
mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung.
Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang
harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus
memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran
yang dibawakannya.
5.
Kebudayaan Tari Cokek Banten
Cokek adalah sebuah
tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar
abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan
tanah
Tionghoa di Tangerang
yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang
beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga
tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina
hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya.
Salah satu alat musik yang mereka bawa yakni
Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan
alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup
musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional dari
daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.
Lantunan nada dari
perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan
nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek
menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari
mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri
pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi
anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi
Banten mulai mengenal nama tari Cokek. Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan
oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan
oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain
musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri
khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan.
Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika
terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah
ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang,
tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina
Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga
Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini
juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke
Tangerang.
Lantunan musik Gambang
Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari
pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke
barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama.
Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama
penari Cokek.
Jika pertunjukan Cokek
diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak
pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika
diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu
kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.
Tanda
ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu.
Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek
telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak.
Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya,
para tamu itulah yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga
pertunjukan tari Cokek
6.
Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten
Kesenian dogdog lojor
terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten
Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi,
Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah
satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena
kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh
masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat.
Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu
berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan
padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat
yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai
keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan
(prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan
agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan
duniawi bisa dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh
pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog
lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan
anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam
kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar.
Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang,
sehingga semuanya berjumlah enam orang.
7.
Kebudayaan
Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang
Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau
sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Wilayah kanekes bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda
dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia
ketika berdialog dengan penduduk luar.
Suku Baduy sendiri
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana,
2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu
kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung
pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas
orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami
dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah
Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi
wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan
lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan
saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan
Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy
atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang
berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan
dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti
dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak
dengan adanya “pikukuh” (kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan
terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya
dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi
tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua
adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti
rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang
dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda
hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya,
jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat
Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan.
Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
8.
Kebudayaan Rumah Adat Baduy
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang
beratapkan daun atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang
dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga
rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok
yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk
beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh
orangKanekes atau disebut juga orang Baduy.
9. Kebudayaan Golok
Banten
Golok adalah pisau
besar dan berat yang digunakan sebagai alat berkebun sekaligus senjata yang
jamak ditemui di Asia Tenggara. Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok
digunakan sebagai senjata dalam silat.
Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi
tergantung dari pandai besi yang membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir
serupa dengan machete tetapi golok cenderung lebih pendek dan lebih
berat, dan sering digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok
biasanya dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar
lainnya di dunia. Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan
pengasahan yang lebih sering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar